Kamis, 01 Oktober 2009

Mark Ronson, Siap Taklukkan Kilimanjaro

Bagi para pendaki dan komunitas pencinta alam, mendaki gunung selama berjam-jam dengan perbekalan seadanya merupakan hal yang biasa. Namun, jika hal ini dilakukan seorang Mark Ronson (34) yang sehari-harinya berprofesi sebagai disc jockey (DJ) dan produser musik, baru luar biasa. Siapa sangka, pria asal London, Inggris itu berencana menaklukkan Gunung Kilimanjaro, gunung tertinggi di benua Afrika.

Tentu saja, untuk mendaki puncak setinggi 19.000 kaki (5,89 km) yang terletak di Tanzania itu, dibutuhkan fisik yang prima dan motivasi tinggi. Oleh karena itu, untuk menjaga stamina tubuhnya, Ronson bertekad meninggalkan gaya hidup berpesta dan kebiasaan buruknya. "Selamat tinggal rokok, alkohol, dan obat-obatan...," ucap pria kelahiran 4 September 1975 ini, sebagaimana dikutip contactmusic.com

Lantas untuk apa peraih Grammy Award 2008 sebagai Producer of the Year itu, bertekad menaklukkan tantangan yang penuh risiko tersebut? Bukan untuk mencari sensasi, menaikkan popularitas, ataupun sekadar mendapatkan kepuasan pribadi, namun hal itu dilakukan Ronson untuk kegiatan amal di Inggris.

Dana yang terkumpul dari pendakian ini, konon akan disumbangkan kepada salah satu yayasan di Inggris, Comic Relief, untuk disalurkan kepada mereka yang membutuhkan. Dalam pendakian tersebut, Ronson tidak sendirian. "Aku mengajak temanku, Kenna dan beberapa sahabatku untuk mendaki Kilimanjaro, yang menjadi bagian dari pendakian amal ini," tulis musisi yang melepas album pertamanya yang berjudul "Here Comes the Fuzz" pada 2003, di laman Twitter pribadinya.

Ronson memang bukan selebriti pertama yang melakukan hal ini. Sebelumnya, para penyanyi, seperti Gary Barlow, Cheryl Cole, Kimberley Walsh, dan Ronan Keating, telah melakukan hal yang sama pada Maret lalu. Kendati demikian, tampaknya Ronson mencoba memotivasi dirinya dan orang lain, untuk dapat berbagi satu sama lain. (Cecep Wijaya)***

Rabu, 15 April 2009

Cara Cepat Menguasai Banyak Bahasa


STOP!!! Bagi Anda yang berpikir bahwa saya sedang menawarkan sebuah rumus, metode, buku, kursus, atau jampi-jampi, lupakan saja! Halaman ini bukanlah yang Anda cari. Tetapi apabila Anda ingin tahu bagaimana menguasai banyak bahasa Eropa (terutama Belanda, Inggris, Jerman, dan Prancis) dengan cepat dan mudah, silakan lanjutkan membaca artikel ini, karena saya akan berbagi saran dan informasi yang sangat berharga bagi Anda.
Menguasai bahasa asing terutama Bahasa Inggris kini menjadi sebuah tuntutan global seiring pesatnya arus informasi, teknologi, karir, bisnis, serta pradigma yang bernuansa internasional. Bahkan bahasa-bahasa asing lainnya seperti Jepang, Mandarin, dan bahasa-bahasa Eropa kini mulai banyak diminati mengingat negara-negara tersebut memiliki peran yang penting dalam dunia internasional. Oleh karena itu, berbagai upaya dilakukan untuk dapat “mencicipi” bahasa-bahasa tersebut. Mulai dari belajar formal di sekolah atau universitas, les privat, sampai mendatangkan native speaker untuk dapat mengetahui dialek penutur aslinya.
Sebenarnya, cara yang paling efektif untuk bisa menguasai bahasa asing adalah pergi ke negara tempat bahasa asing tersebut digunakan dalam kehidupan sehari-hari, karena dengan demikian akan terjadi proses language acquisition atau pemerolehan bahasa secara alami. Jadi kita tidak perlu repot-repot belajar grammar, cukup belajar dari pengalaman dan biarkan otak kita yang merespon. Lantas bagaimana kalau ingin menguasai banyak bahasa Eropa (Inggris, Belanda, Prancis, dan Jerman) sekaligus? Apakah kita harus pergi dan menetap di negara-negara tersebut? Jawabannya tidak perlu. Hal itu hanya akan membuang-buang waktu dan uang Anda. Anda cukup pergi ke suatu tempat dimana penduduknya mampu berbicara dalam berbagai bahasa Eropa. Dengan demikian, Anda tidak akan terlalu banyak merogoh kocek Anda. Tempat tersebut adalah suatu negeri yang terkenal dengan kincir angin, hamparan bunga tulip, keju, dan tim kesebelasannya yang memiliki kostum khas berwarna oranye. Ya, tempat tersebut adalah Belanda.

Mengapa Belanda?

Belanda adalah sebuah negara kecil di Eropa yang diapit oleh dua negara raksasa: Jerman dan Prancis (sebenarnya berbatasan langsung dengan Belgia, namun disana terdapat banyak komunitas Prancis) . Dalam memutar roda perekonomiannya, Belanda bergantung pada perdagangan dimana Jerman dan Prancis sering dibidik sebagai pangsa pasarnya. Oleh karena itu, untuk bisa berkomunikasi dengan kedua negara tersebut, orang-orang Belanda mempelajari bahasa keduanya (Jerman dan Prancis). Selain itu, mayoritas penduduk negeri tulip itu menguasai Bahasa Inggris dengan baik sehingga para pendatang dari luar negeri tersebut tidak akan kesulitan dalam berkomunikasi dengan penduduk setempat. Hal ini menjadikan bangsa Belanda sebagai bangsa intelektual yang multilingual.
Walaupun kita memiliki pengalaman pahit masa lalu dengan bangsa tersebut dimana bangsa kita dijajah dan dibiarkan “tidak intelek” selama 3,5 abad, saat ini Belanda kian meningkatkan kerjasamanya baik di bidang ekonomi, sosial-budaya, polhankam, maupun pendidikan. Berbagai bantuan termasuk beasiswa banyak diberikan pemerintah Belanda bagi mahasiswa Indonesia yang ingin melanjutkan pendidikan tinggi di sana.
Dalam bidang pendidikan, reputasi Belanda sudah teruji dan diakui dunia karena sistem pendidikannya yang maju dan berkualitas. Menurut laporan Times Higher Education Supplemen, hampir 90% universitas Belanda berada dalam peringkat 200 universitas teratas . Selain itu, terdapat lebih dari 1400 program studi internasional yang ditawarkan, dimana bahasa pengantarnya adalah Bahasa Inggris, padahal Belanda adalah negara non-Berbahasa Inggris. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila kebanyakan orang Belanda dapat berkomunikasi dalam Bahasa Inggris. Kurikulum pendidikan tinggi Belanda pun sangat baik karena berorientasi pada praktek, sehingga mendidik para mahasiswanya untuk menjadi pribadi yang professional dan mampu mengembangkan kreativitas sesuai dengan bidang studi yang dipilihnya. Belanda juga memiliki lembaga Institut Pendidikan Internasional yang diperuntukkan bagi mahasiswa asing dari seluruh penjuru dunia dengan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantarnya. Dengan menempuh studi di sana, berarti kita mendapat sebuah tiket menuju komunitas global yang memungkinkan kita memahami dan menguasai banyak bahasa Eropa.
Nah, sekarang saya kira Anda sudah mendapat gambaran mengenai bagaimana menguasai banyak bahasa Eropa. Ya, salah satunya adalah dengan menempuh studi di Belanda dan mendapatkan kurikulum internasional di dalamnya. Akan tetapi mungkin Anda bingung bagaimana caranya untuk bisa mendapatkan pendidikan di sana dengan biaya yang terjangkau? Jangan putus asa dulu! Jika saat ini Anda belum memiliki uang yang cukup untuk pergi ke Belanda, apalagi untuk kuliah di sana, Anda tidak perlu khawatir karena saat ini sedang berlangsung sebuah kompetisi blog bertajuk “Studi di Belanda” yang bisa menerbangkan Anda secara cuma-cuma ke Belanda untuk mengikuti Summer Course di salah satu universitas ternama di negeri kincir angin itu. Tertarik? Just take this chance, be the part of global community, share a lot of experiences, and master more languages at once!

Kamis, 09 April 2009

Cara Cepat Menguasai Banyak Bahasa

Cara Cepat Menguasai Banyak Bahasa



STOP!!! Bagi Anda yang berpikir bahwa saya sedang menawarkan sebuah rumus, metode, buku, kursus, atau jampi-jampi, lupakan saja! Halaman ini bukanlah yang Anda cari. Tetapi apabila Anda ingin tahu bagaimana menguasai banyak bahasa Eropa (terutama Belanda, Inggris, Jerman, dan Prancis) dengan cepat dan mudah, silakan lanjutkan membaca artikel ini, karena saya akan berbagi saran dan informasi yang sangat berharga bagi Anda.

Menguasai bahasa asing terutama Bahasa Inggris kini menjadi sebuah tuntutan global seiring pesatnya arus informasi, teknologi, karir, bisnis, serta pradigma yang bernuansa internasional. Bahkan bahasa-bahasa asing lainnya seperti Jepang, Mandarin, dan bahasa-bahasa Eropa kini mulai banyak diminati mengingat negara-negara tersebut memiliki peran yang penting dalam dunia internasional. Oleh karena itu, berbagai upaya dilakukan untuk dapat “mencicipi” bahasa-bahasa tersebut. Mulai dari belajar formal di sekolah atau universitas, les privat, sampai mendatangkan native speaker untuk dapat mengetahui dialek penutur aslinya.

Sebenarnya, cara yang paling efektif untuk bisa menguasai bahasa asing adalah pergi ke negara tempat bahasa asing tersebut digunakan dalam kehidupan sehari-hari, karena dengan demikian akan terjadi proses language acquisition atau pemerolehan bahasa secara alami. Jadi kita tidak perlu repot-repot belajar grammar, cukup belajar dari pengalaman dan biarkan otak kita yang merespon. Lantas bagaimana kalau ingin menguasai banyak bahasa Eropa (Inggris, Belanda, Prancis, dan Jerman) sekaligus? Apakah kita harus pergi dan menetap di negara-negara tersebut? Jawabannya tidak perlu. Hal itu hanya akan membuang-buang waktu dan uang Anda. Anda cukup pergi ke suatu tempat dimana penduduknya mampu berbicara dalam berbagai bahasa Eropa. Dengan demikian, Anda tidak akan terlalu banyak merogoh kocek Anda. Tempat tersebut adalah suatu negeri yang terkenal dengan kincir angin, hamparan bunga tulip, keju, dan tim kesebelasannya yang memiliki kostum khas berwarna oranye. Ya, tempat tersebut adalah Belanda.

Mengapa Belanda?

Belanda adalah sebuah negara kecil di Eropa yang diapit oleh dua negara raksasa: Jerman dan Prancis (sebenarnya berbatasan langsung dengan Belgia, namun disana terdapat banyak komunitas Prancis)[1] . Dalam memutar roda perekonomiannya, Belanda bergantung pada perdagangan dimana Jerman dan Prancis sering dibidik sebagai pangsa pasarnya. Oleh karena itu, untuk bisa berkomunikasi dengan kedua negara tersebut, orang-orang Belanda mempelajari bahasa keduanya (Jerman dan Prancis). Selain itu, mayoritas penduduk negeri tulip itu menguasai Bahasa Inggris dengan baik sehingga para pendatang dari luar negeri tersebut tidak akan kesulitan dalam berkomunikasi dengan penduduk setempat. Hal ini menjadikan bangsa Belanda sebagai bangsa intelektual yang multilingual.

Walaupun kita memiliki pengalaman pahit masa lalu dengan bangsa tersebut dimana bangsa kita dijajah dan dibiarkan “tidak intelek” selama 3,5 abad, saat ini Belanda kian meningkatkan kerjasamanya baik di bidang ekonomi, sosial-budaya, polhankam, maupun pendidikan. Berbagai bantuan termasuk beasiswa banyak diberikan pemerintah Belanda bagi mahasiswa Indonesia yang ingin melanjutkan pendidikan tinggi di sana.

Dalam bidang pendidikan, reputasi Belanda sudah teruji dan diakui dunia karena sistem pendidikannya yang maju dan berkualitas. Menurut laporan Times Higher Education Supplemen, hampir 90% universitas Belanda berada dalam peringkat 200 universitas teratas [2]. Selain itu, terdapat lebih dari 1400 program studi internasional yang ditawarkan, dimana bahasa pengantarnya adalah Bahasa Inggris, padahal Belanda adalah negara non-Berbahasa Inggris. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila kebanyakan orang Belanda dapat berkomunikasi dalam Bahasa Inggris. Kurikulum pendidikan tinggi Belanda pun sangat baik karena berorientasi pada praktek, sehingga mendidik para mahasiswanya untuk menjadi pribadi yang professional dan mampu mengembangkan kreativitas sesuai dengan bidang studi yang dipilihnya. Belanda juga memiliki lembaga Institut Pendidikan Internasional yang diperuntukkan bagi mahasiswa asing dari seluruh penjuru dunia dengan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantarnya. Dengan menempuh studi di sana, berarti kita mendapat sebuah tiket menuju komunitas global yang memungkinkan kita memahami dan menguasai banyak bahasa Eropa.

Nah, sekarang saya kira Anda sudah mendapat gambaran mengenai bagaimana menguasai banyak bahasa Eropa. Ya, salah satunya adalah dengan menempuh studi di Belanda dan mendapatkan kurikulum internasional di dalamnya. Akan tetapi mungkin Anda bingung bagaimana caranya untuk bisa mendapatkan pendidikan di sana dengan biaya yang terjangkau? Jangan putus asa dulu! Jika saat ini Anda belum memiliki uang yang cukup untuk pergi ke Belanda, apalagi untuk kuliah di sana, Anda tidak perlu khawatir karena saat ini sedang berlangsung sebuah kompetisi blog bertajuk “Studi di Belanda” yang bisa menerbangkan Anda secara cuma-cuma ke Belanda untuk mengikuti Summer Course di salah satu universitas ternama di negeri kincir angin itu. Tertarik? Just take this chance, be the part of global community, share a lot of experiences, and master more languages at once!



sources:
[1] http://bemmipauns.com/artikel/81-keunggulan-menjadi-bangsa-multilingual-studi-kasus- belanda.html

[2] http://www.nesoindonesia.com/indonesian-students/informasi-dalam-bahasa/sistem-pendidikan-belanda

Minggu, 29 Maret 2009

Respond to "Lia Eden Tak Menodai Agama Manapun"


Tulisan ini sengaja dibuat untuk menanggapi sebuah tulisan bertajuk "Lia Eden Tak Menodai Agama Manapun" dari link berikut: http://www.facebook.com/profile.php?id=1057690330#/profile.php?id=1057690330&v=app_2347471856&viewas=1447161639

Saya sepakat kalau Lia Eden itu tidak menodai agama apapun. Menurut saya, kata yang lebih pas dan lebih pantas bukan “menodai” melainkan “menistakan” agama, karena “menodai” hanya meninggalkan bekas yang kotor, sedangkan “menistakan” bukan hanya mengotori tapi juga meremehkan sekaligus melecehkan yang tentunya sangat berbekas. Mengapa demikian? Berikut argumentasinya.

Pertama, Lia Eden mengaku dirinya adalah Malaikat Jibril yang menjelma menjadi manusia. Hal ini sungguh tidak masuk akal, karena yang namanya malaikat dalam agama manapun adalah mahluk suci, yang tidak memiliki nafsu sebagaimana mahluk lainnya. Sedangkan Lia Eden sendiri saya yakin sehari-harinya dia makan, minum, tidur, dan (maaf) boker. Itu artinya dia memiliki nafsu, dalam hal ini kebutuhan jasmani.

Kedua, Bu Lia mempercayai Nabi Muhammad, beriman kepada Yesus, Dewi Kwan Im dari Cina, dan juga sang Budha. Dalam hal ini dia mendapat wahyu dari Tuhan (menurutnya begitu) untuk mendirikan agama baru dengan menggabungkan berbagai agama. Hal ini jelas melukai masing-masing penganut agama. Mengapa? Karena dia mencampuradukkan agama-agama yang sudah ada, yang notabene masing-masing punya aturan baku sendiri, tidak dapat diganggu gugat, apalagi diobok-obok. Seandainya dia membuat agama baru dengan tidak membawa-bawa label agama lain, mungkin ceritanya akan berbeda.

Ketiga,Mama Lia mengaku mendapat wahyu Tuhan untuk menghapus agama Islam dari muka bumi dengan alasan telah dinodai oleh para penganutnya sendiri. Hal ini sungguh diluar nalar saya. Agama Islam yang selama ini telah dibangun berdasarkan akidah, yang telah terbukti kebenarannya baik secara ilmiah, logika, maupun filosofi, serta telah mengakar di urat nadi dan mendarah daging di setiap diri dan jiwa para penganutnya akan dibinasakan begitu saja? Kalau Islam itu ternoda gara-gara penyimpangan para penganutnya, saya rasa mengajak mereka untuk bertobat dan kembali ke ajaran Islam yang benar akan lebih baik (selain menghukum mereka sesuai perbuatannya).

Menanggapi soal umat Islam yang berdemonstrasi dengan cara kekerasan, memang hal demikian tidak diajarkan dalam Islam. Saya juga sangat tidak setuju dengan perilaku demikian. Akan tetapi, mereka tidak sepenuhnya harus disalahkan, apalagi dituding menodai agamanya sendiri. Hal itu mereka lakukan hanya sebagai reaksi atas sikap pemerintah yang terkesan “diam” dalam melindungi kesucian agama yang mereka anut dan aqidah yang mereka emban dan yakini selama ini. Pemerintah hanya mampu mengecam dan mengecam yang tentunya tidak menghasilkan apa-apa. Andai saja pemerintah mampu bersikap tegas, saya jamin huru-hara tidak akan terjadi dan kesucian agama tetap terjaga.

Soal Islam, Amerika dan teroris? Hmmm… saya bingung sebenarnya siapa yang teroris. Di televisi kita hanya “dipaksa” melihat bom-bom dan serangan-serangan yang dilakukan sekelompok muslim tertentu. Sementara itu, kita juga “dipaksa” menutup mata akan serangan, invasi, pembantaian dan tindak kekerasan lain Amerika yang telah menewaskan ratusan ribu warga Irak, dan negara-negara Muslim lainnya. Andai saja Naga Bonar mengetahui hal ini, dia pasti berkata, “Apa kata dunia?”

Kasus Lia Eden hanyalah salah satu dari banyak kasus penistaan agama yang berujung pada permusuhan antar umat beragama, atau pemojokan agama tertentu. Saya memandangnya sebagai boneka yang digerakkan pihak tertentu dalam upaya memecah belah umat dan bangsa. Seyogyanya kita tidak terjebak di dalamnya. Sudah saatnya bangsa ini melakukan perubahan dengan menerapkan sebuah system, aturan, dan tatanan yang bisa memecahkan persoalan semacam ini dan persoalan-persoalan lainnya yang tak kunjung selesai. System tersebut hendaknya bukan berasal dari manusia, melainkan berasal dari pencipta manusia. Dan itulah syariat Islam. Hidup pasti damai dan sejahtera. Percaya deh!

Kamis, 25 Desember 2008

One of the Missions in My Life Has Just Completed…

One of the Missions of My Life Has Just Completed…

Pagi hari kemarin, aku pergi ke kampus dengan berbalut kemeja putih rapi dilapisi jas abu-abu dan bawahan abu-abu gelap yang sedikit glossy tak ketinggalan pula dasi abu-abu yang melilit di leherku. Tidak biasanya aku mengenakan pakaian a la kalangan eksekutif dan profesional ini. Aku mengenakan pakaian tersebut karena hari itu aku akan menempuh ujian sidang sarjana sebagai syarat untuk mendapat gelar S.S. (Sarjana Sastra) setelah menempuh kuliah di Jurusan Sastra Inggris.

Tiba di kampus sekitar pukul 7.30, teman-temanku yang lain yang juga akan sidang sudah berderet di depan dekanat dengan mengenakan kostum yang serupa denganku. They were all good-looking, actually. Mereka menunggu dimulainya sidang yang direncanakan pukul 9.00. Beberapa diantaranya sibuk membuka lembaran-lembaran skripsi yang aku yakin sudah mereka pelajari sebelumnya dengan matang. Melihat ini, aku pun merasa terpancing untuk membuka lembaran skripsiku sendiri untuk sekedar meyakinkan diriku bahwa aku sudah mempelajari semuanya dan bahwa aku benar-benar siap untuk sidang hari itu. Dalam pikiranku sendiri terlintas pertanyaan-pertanyaan yang kemungkinan akan ditanyakan dosen-dosen penguji dan aku pun mempersiapkan jawaban-jawabannya. Setelah yakin, aku menutup kembali skripsiku dan memasukkannya kembali ke dalam tas.

Setelah beberapa saat merasa tenang, aku merasakan ada hal yang kurang setelah melihat teman-temanku membawa tas tambahan yang berisi buku-buku dan referensi yang mereka gunakan sebagai sumber skripsi mereka. Aku pun sedikit resah karena aku hanya membawa satu buku yang berisi teori utama skripsiku. untuk sekedar memastikan apakah buku-buku tersebut harus dibawa saat sidang, aku pun bertanya kepada beberapa temanku namun jawabannya bervariasi. Tak mau gelisah, aku pun memutuskan untuk kembali ke kostan untuk mengambil buku-buku yang tertinggal di sana. Untungnya, salah satu temanku Willy, mau meminjamkan motornya sehingga aku bisa cepat kembali ke kampus. Thanks, bro!

Menjelang pukul 9.00, semua peserta ujian mulai menuju ruang sidang. Dosen sekaligus sekretaris jurusan, Taufik Hanafi, meminta peserta ujian mengumpulkan kartu ujian, KTM, dan tanda bukti lunas registrasi. Aku pun mempersiapkannya dan menyerahkannya kepada Taufik. Namun betapa kagetnya aku ketika Taufik mengatakan bahwa fotokopi KTM-ku tidak bisa diterima karena yang diminta adalah KTM yang asli. Hal ini terjadi juga pada seniorku Salabi yang saat itu menunjukkan fotokopi ktm, bukan asli. Setelah kucoba jelaskan bahwa KTM-ku hilang dan aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Akhirnya Taufik pun memaklumi dan menyuruh kami memeinta surat pengganti KTM yang hilang ke bagian akademik saat itu juga. Akhirnya aku dan Salabi bergegas ke lantai satu untuk mengurus hal ini. Namun, belum selesai mengurus semuanya, Taufik menyusul ke bagian akademik dan memanggil kami untuk segera masuk ruang sidang karena pembukaan sidang akan dimulai. Aku dan Salabi akhirnya kembali ke lantai tiga menuju ruang sidang, sedangkan urusan surat ditangani Taufik. What a nice guy, Thanks for cooperation, bro!

Tiba di ruang sidang, semua peserta sudah berjejer dan pembukaan sidang segera dimulai. Aku dan Salabi sempat terkena ”semprotan” Bu Linda karena telat masuk. Namun, beberapa saat kemudian, sidang dimulai yang ditandai dengan ketukan palu (walaupun hanya dengan kepalan tangan) oleh Bu Linda. Akhirnya semua peserta dipersilakan menunggu giliran ujian di luar.

Di luar ruang sidang, semua peserta semakin menunjukkan ekspresi muka yang menegangkan, harap-harap cemas, seperti jin kurang sajen. Salabi dan Dewi Kultsum mendapat giliran pertama. Aku tidak tahu apa yang terjadi di dalam ruang sidang tapi sepertinya ramai sekali. Aku hanya berusaha menenangkan diriku dan meyakinkan diriku bahwa aku bisa mengatasi semuanya. Kalaupun aku tidak lulus saat itu, aku pun siap. Karena mungkin itu yang terbaik bagiku. I was just hoping for the best and preparing for the worst.

Kulihat jam di Hp-ku sudah menunjukkan pukul 10.30 tapi giliranku belum juga tiba. Tak mau terus menerus melihat jam, aku pun mematikan ponselku dan kembali menenangkan diriku, kali ini dengan berbincang-bincang dengan beberapa temanku. Di tengah perbincangan, kulihat temanku Ayu keluar dari ruang sidang dengan kesal dan mencacai diri sendiri, tearing, she told her friends that she felt like a fool for not being able to answer the questions she actually knew what the answers were. Tentu saja ini membuat yang lain semakin tegang, termasuk diriku. Anyway, aku mencoba tetap yakin that I could make it.

Sekitar pukul 12.00, akhirnya namaku dipanggil untuk masuk ruang sidang dan memang aku mendapat giliran terakhir diantara teman-teman pengutamaan Linguistik. Ketika masuk ruang sidang, it was not what I thought, ternyata suasana di dalam ruangan sama sekali tidak menegangkan. Dosen-dosen penguji dan pembimbing menguji mahasiswa sambil menyantap makanan dan meminum minuman ringan. Bahkan ada yang hilir mudik kesana-kemari seperti mencari duit recehan yang hilang. Aku pun menghadap para penguji dan pembimbing yang sudah duduk berderet seperti mau lomba cerdas cermat.

Tibalah saatnya para penguji melancarkan aksinya padaku dimulai dengan penguji pertama, Ibu Ekaning, a veiled lady. Beberapa pertanyaannya mampu kujawab dengan diplomatis, namun pada saat dia menanyakan ”which theory on which this analysis is based?” I felt a lump in my throat. Pertanyaan yang kukhawatirkan ini akhirnya muncul juga. I was trying to answer the question eventhough I was sure that she was not satisfied with it. Kemudian beliau meminta aku menunjukkan dasar teorinya dan kucoba perlihatkan buku sumbernya langsung untuk menunjukkan teori tersebut. Unfortuantely, aku tidak dapat menemukan printed-text-nya. Hal ini membuatku semakin tidak karuan. Terlebih ketika Ibu Eva, which is my counselor, menarik buku tersebut dari tanganku dan menunjukkan halaman yang aku cari-cari. Ketika dia menemukannya, dia menunjukkannya padaku and just said “You miss ten points” karena kecerobohanku. Walaupun pikiranku berkecamuk, aku tetap berusaha menenangkan diriku and just passed it. Kemudian tibalah saatnya penguji kedua, kali ini Pak Eko. Aku merasa santai dengannya karena bawaannya yang selalu santai dan penuh canda (walaupun candaannya jorok). Dalam menjawab pertanyaannya pun aku tidak banyak menemui hambatan. Everything went well. Setelah selesai, aku ke luar ruangan dengan perasaan tak menentu. Walaupun demikian, aku pasrah dan siap menerima keputusan terpahit sekalipun.


* * *


Sekitar pukul 16.00, peserta diminta kembali masuk ruang sidang untuk mendengar keputusan final berdasarkan penilaian masing-masing penguji. Suasana tegang semakin menjadi-jadi sehingga kalaupun pipi kanan-kiri ditampar, pandangan mata tidak berkedip (berlebihan ya?he3).

Akhirnya Ibu Linda kembali membuka sidang penutupan untuk membacakan hasil keputusan akhir. Beliau membukanya dengan menenangkan para peserta ujian akan segala keputusan walaupun pahit. Beliau juga mengatakan bahwa para penguji di kampus tidak lebih berat dari para penguji di dunia kerja di luar sana. Mereka akan lebih berat lagi menguji setiap kinerja karyawan-karyawannya. Mendengar hal ini, aku sedikit termenung termakan oleh kata-katanya yang kupikir ada benarnya. Kemudian beliau membuka berkas-berkas nilai dan mulai membacakan hasilnya. Akan tetapi, ketika salah satu berkas di pegang, beliau kembali menyimpannya dan mencari berkas yang lain. ”Yang ini nanti saja, saya mau bacakan yang ini dulu.” kira-kira demikian ungkapannya. Tentu saja hal ini semakin membuat jantungku dan teman-teman berdetak lebih kencang seperti genderang mau perang. Kemudian beliau mulai membacakan hasilnya satu per satu... ”Bernard Siregar... terpaksa kami luluskan dengan yudisium sangat memua..kkan.” Kalimat tersebut terucap diiringi tepuk tangan dari seluruh peserta dengan tawa simpul. Ditengah pembacaan, dosen-dosen penguji lain saling mengadu kedigjayaannya dalam melontarkan lawakan-lawakan dari yang segar sampai yang garing bahkan lebay. Motornya adalah Taufik, Eko, Sandya dan Ono, yang terbilang ”dosen-dosen muda”, sedangkan dosen-dosen senior lain hanya menanggapi kekonyolan mereka. Sementara peserta lain tetap serius mendengar hasil keputusan, aku dan beberapa teman merasa terhibur oleh mereka. Walaupun acara ini formal, tapi suasananya terasa santai dan penuh tawa. Ditengah situasi tersebut, pikiranku terfokus ketika namaku disebut oleh Ibu Linda.

”Cecep Wijaya Sari, mana..?” dia bertanya sambil menatap wajah-wajah mahasiswa. Aku pun mengacungkan tangan setelah namaku dipanggil.
”Oke, Cecep lulus dengan IPK 3,25 dan dengan yudisium sangat memuaskan...” ”Alhamdulillah...” ucapku lirih.

Mendengar kalimat tersebut aku merasa melayang dan tiba-tiba memoriku kembali ke saat-saat pertama masuk kampus, teringat masa-masa kuliah dengan dosen-dosen yang ada dihadapanku saat itu dengan segala tabiat dan karakternya. Aku pun menatap wajah-wajah dosen tersebut satu per satu dan mengingat segala kesan dan kenangan bersama mereka. Entah mengapa, aku merasa ingin kembali kuliah dan menggali ilmu dari mereka. Walaupun mereka konyol, they are all intelligent and potential. Walaupun demikian, aku kembali tersadar bahwa keputusan ini merupakan sesuatu yang aku harapkan 4 tahun dan 4 bulan yang lalu, dimana aku berharap mendapatkan sebuah gelar sarjana yang juga telah diperoleh saudara-saudaraku yang lain. Di sisi lain, aku juga harus mulai beradaptasi dengan statusku yang baru, yaitu menjadi pengajar Bahasa Inggris di SMP Al Azhar Kelapa Gading, karena dua hari sebelum sidang aku mengikuti tes microteaching di SMP tersebut dan alhamdulillah diterima.

Ibu Linda akhirnya mengakhiri sidang dengan menyampaikan ucapan selamat kepada para mahasiswa yang lulus dan menyarankan agar tetap mejaga hubungan dan menjaga nama baik universitas terutama jurusan. Ok, one of the missions in my life has just been completed, but the others are waiting for me.


Minggu, 14 Desember 2008

Are You Ready to Work?

Tinggal dalam hitungan hari lagi aku akan menghadapi sidang ujian sarjana dan aku harus mempersiapkan diri sebaik mungkin. Alhamdulillah, draft skripsiku sudah mendapat acc dari kedua dosen pembimbing dan tinggal mengajukan diri untuk daftar sidang. Namun, proses pendaftaran sidang terasa begitu rumit. Mulai dari mengumpulkan syarat-syarat, meminta tanda tangan, dan harus menghubungi pihak-pihak tertentu untuk mengkonfirmasi ini dan itu. Sampai saat ini semua syarat belum aku lengkapi. Mudah-mudahan hari senin besok aku sudah fix terdaftar untuk mengikuti sidang.

Sementara itu, sekitar semnggu yang lalu, aku mendapat tawaran dari kang Asep Firman, seniorku, yang saat ini aktif sebagai pengajar di SMA Al Azhar Kelapa Gading untuk menjadi pengajar bahasa Inggris di sana. Aku diminta untuk menggantikan sementara posisi guru yang sedang mengambil cuti selama dua bulan terhitung mulai awal bulan depan. Dari segi prestige, tentu ini tawaran yang menggiurkan. Namun, aku masih mempertimbangkannya karena beberapa alasan.

Pertama, walaupun aku akan mengikuti sidang pada bulan ini, namun bukan berarti aku pasti lulus bulan ini. Bisa saja aku gagal dan harus mengikuti sidang gelombang berikutnya.

Kedua, aku masih nyaman mengajar di tempatku sekarang (IEC), terlebih aku memegang kelas baru yang kini sudah mulai enjoy. Aku masih betah melihat anak-anak baru yang sedang semangat-semangatnya belajar dan terasa berat meninggalkan mereka begitu saja.

Ketiga, aku merasa masih belum siap terjun ke Jakarta mendengar kehidupan disana begitu keras sehingga sedikit mematahkan semangatku untuk berangkat kesana.

Keempat, masih ada beberapa aktivitas lain yang telah aku rencanakan untuk dua-tiga bulan ke depan di Jatinangor. Diantaranya adalah menyelesaikan muqowwimat, halqoh, mengisi halqoh, mempelajari aikido, fitness, dll.

Sempat aku diskusikan masalahku ini dengan orang tuaku, beberapa kakak dan temanku dan mereka menanggapinya dengan positif. Mereka mendukungku penuh untuk mengambil kesempatan dan pengalaman yang cukup langka ini. Memang betul, tawaran kerja untuk sorang fresh graduate langsung setelah lulus dengan pekerjaan yang cukup bonafid memang jarang terjadi.

Aku jadi teringat beberapa ungkapan yang pernah aku dengar dan aku simpan dengan baik dalam memoriku karena aku anggap sangat berharga untuk kehidupanku di masa yang akan datang. Diantaranya adalah ”get out of the comfort zone” yang sering diucapkan oleh para motivator dan pengusaha sukses dalam berbagai seminar. Aku merasa ungkapan ini tepat dengan kondisiku saat ini. Di saat aku nyaman dengan kehidupanku sekarang yang santai, enjoy, banyak waktu luang, tidak banyak tekanan, tidak banyak persaingan, tidak banyak target, tidak banyak biaya, dll., justru yang harus kulakukan adalah keluar dari zona kenyamanan ini dan mencoba sesuatu yang baru untuk maju dan berkembang. Hidup terus menerus dalam zona kenyamanan akan menyebabkan kita stagnan, monoton, tidak berkembang, dan tidak memanfaatkan potensi lain yang ada di dalam diri kita dan kesempatan yang terbuka lebar di luar sana. Banyak sekali kulihat orang yang ”pasrah” pada keadaan dan nyaman dengan kondisi tersebut berpuluh-puluh tahun lamanya tanpa kemajuan yang signifikan. Aku menyadari bahwa semua orang, termasuk diriku, memiliki potensi yang sama untuk maju. Yang membedakan hanyalah semangat, keinginan, hasrat, keseriusan, keteguhan, dan keyakinan untuk berubah menjadi lebih baik.

Ungkapan atau pesan lain yang memotivasiku kudengar dari Uwa-ku ketika aku mondok semasa SMA dulu. Beliau mengatakan bahwa tempat-tempat yang ada di dunia ini hanyalah persinggahan. Kita akan datang ketempat tersebut, berada di dalamnya selama kurun waktu tertentu, dan akhirnya meninggalkannya. Dan begitulah seterusnya. Apabila kita tidak mempunyai tujuan dan target yang ingin kita raih, maka bisa saja kita salah memilih tempat atau keberadaan kita di tempat tersebut sia-sia karena tidak dapat mengambil ”sesuatu” darinya.

Memang seperti itulah kehidupan. Everything changes and the only thing that dosen’t change is the change itself. Semuanya pasti berubah, berputar, dan setiap orang berganti peran dari waktu ke waktu, masa ke masa, dan zaman ke zaman di dunia ini. Apakah kita akan jadi pemeran utama yang sukses ataukah hanya jadi pemeran pembantu yang ada atau tidak adanya tidak mengubah cerita.

Aku berdoa kepada Allah untuk menunjukkan jalan yang terbaik bagiku. Aku yakin dan berserah diri sepenuhnya kepada-Nya. Apapun yang jadi keputusanku nanti aku yakin itu yang terbaik untukku dan yang aku harapkan adalah mendapat ridha dari-Nya.